Sejak pertama pindah ke rumah ini, aku sudah penasaran dengan pintu di
sisi kiri ruang tamu. Ukurannya besar, megah dengan berbagai ukiran.
Sangat tidak cocok dipadukan dengan rumah berkonsep minimalis yang kami
tinggali. Dan lebih mengherankan lagi, pintu itu tak menghubungkan
ruangan manapun. Aku pernah mengeceknya dari luar. Namun yang kudapati
hanya tembok berlapis batu alam.
“Ayah taukan pintu di sisi kiri ruang tamu?” tanyaku di sela-sela acara menonton bola.
“Iya, bagus ya?”
“Alin heran deh, yah. Kok ada pintu kayak gitu di rumah berkonsep minimalis. Apalagi pintunya nggak bisa dibuka, alin udah cek dari luar yang ada cuma tembok.” kataku tanpa menjawab pertanyaan ayah.
“Mungkin untuk hiasan.”
Ku pikir ayah ada benarnya juga. Meskipun tetap saja terasa janggal karena keseluruhan konsep rumah ini minimalis, kecuali pintu itu.
“Ayah taukan pintu di sisi kiri ruang tamu?” tanyaku di sela-sela acara menonton bola.
“Iya, bagus ya?”
“Alin heran deh, yah. Kok ada pintu kayak gitu di rumah berkonsep minimalis. Apalagi pintunya nggak bisa dibuka, alin udah cek dari luar yang ada cuma tembok.” kataku tanpa menjawab pertanyaan ayah.
“Mungkin untuk hiasan.”
Ku pikir ayah ada benarnya juga. Meskipun tetap saja terasa janggal karena keseluruhan konsep rumah ini minimalis, kecuali pintu itu.
§§§
Berkali-kali ku tekan tombol remote namun tak juga ku temukan acara yang menarik perhatian. Tengah hari seperti ini semua stasiun televisi kompak menyiarkan acara berita yang sangat tidak kusukai. Aku muak harus menyaksikan betapa menyedihkannya dunia ini, seperti yang tergambar ketika menonton berita.
Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada pasir di bawah kaca meja. Aku ingat pasir itu berwarna putih namun baru saja kulihat warnanya berubah kelam seperti malam. Semakin ku tatap, warnanya makin kelam. Atmosfir aneh pun menyelimuti sekelilingku, membuatku bergidik ngeri.
Baru saja aku hendak menyentuhnya, laci tempat pasir itu berada sudah
terbuka dengan sendirinya. Di dalamnya terdapat sebuah buku tebal serupa
novel Maryamah Karpov di atas hamparan tipis pasir hitam. “مستقبل
الحياة” Aksara itu tertulis pada bagian depan buku yang kutaksir sebagai
judul. Aksara Arab yang tak kumengerti apa artinya.
Ketika aku hendak mengambil buku tersebut, bayangan-bayangan kejadian seperti dalam cerita mulai berkelebat di benakku. Misalnya saja ketika kusentuh buku itu menyengatku dengan listrik jutaan watt, atau mungkin menghisapku. Dadaku berdegub kencang karena takut. Namun hasrat dalam diriku menginginkan aku menyentuhnya.
Demi melunaskan rasa penasaran yang membuncah, ragu-ragu aku menyentuhnya. Entah layak kusebut keberuntungan atau tidak, semua yang kubayangkan tidak terjadi. Aku baik-baik saja, tanpa tersengat ataupun terhisap.
Masih dengan sedikit keraguan dan kedua tangan bergetar aku membuka halaman demi halaman buku tersebut. Halaman pertama hanya terdapat judul, seperti yang tertulis pada cover depan. Halaman kedua terdapat angka tahun 1893, yang kutaksir sebagai tahun pembuatan dan beberapa baris aksara yang sama. Pada halaman ketiga, aku mendapati lukisan yang sudah agak buram. Kutatap nanar lukisan tersebut, kengerian makin membelengguku.
Ketika aku hendak mengambil buku tersebut, bayangan-bayangan kejadian seperti dalam cerita mulai berkelebat di benakku. Misalnya saja ketika kusentuh buku itu menyengatku dengan listrik jutaan watt, atau mungkin menghisapku. Dadaku berdegub kencang karena takut. Namun hasrat dalam diriku menginginkan aku menyentuhnya.
Demi melunaskan rasa penasaran yang membuncah, ragu-ragu aku menyentuhnya. Entah layak kusebut keberuntungan atau tidak, semua yang kubayangkan tidak terjadi. Aku baik-baik saja, tanpa tersengat ataupun terhisap.
Masih dengan sedikit keraguan dan kedua tangan bergetar aku membuka halaman demi halaman buku tersebut. Halaman pertama hanya terdapat judul, seperti yang tertulis pada cover depan. Halaman kedua terdapat angka tahun 1893, yang kutaksir sebagai tahun pembuatan dan beberapa baris aksara yang sama. Pada halaman ketiga, aku mendapati lukisan yang sudah agak buram. Kutatap nanar lukisan tersebut, kengerian makin membelengguku.
Perempuan berambut keemasan pada lukisan itu benar-benar mirip denganku.
Matanya yang kebiruan, hidung bangir, serta bibir tipis kemerahan.
Semuanya benar-benar mirip, seperti ketika aku bercermin. Sayangnya
pesona yang dimiliki wanita itu kontras sekali dengan apa yang ada di
belakangnya. Puluhan bahkan mungkin ratusan tengkorak utuh lalu lalang.
Membuatku makin takut, hingga bulu kudukku berdiri. Karena ternyata
lukisan itu bergerak dan aku baru menyadarinya.
Mataku pun mulai perih karena tak berkedip. Saat aku membuka mata sekian detik kemudian. Tiba-tiba saja muncul sosok perempuan dewasa di sebelah perempuan tadi. Keduanya saling tersenyum, lalu menatapku ramah.
“Alynna Sukmo Atmaja” sapa perempuan bersanggul itu ramah. Aku tersentak, seluruh sendiku lemas hingga tubuhku pun merosot ke lantai. Kedua perempuan itu tidak menakutkan, tapi lukisan dalam buku yang bisa bicara benar-benar membuatku ketakutan.
“Kami -”Belum sempat perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ayah datang dan merebut buku ajaib dari tanganku dengan sekali sentakan. Matanya berkilat, mukanya memerah pertanda ia sedang marah.
“Jembatan masa pintu neraka dunia ”ucap ayah sekali napas di tengah hembusan napasnya yang memburu. Lalu terdengar suara berdebam, yang ternyata berasal dari pintu kayu di sisi kiri ruang tamu. Aku melihat pintu itu terbuka, lalu merasakan tubuhku terhisap kedalamnya. Beruntung aku sempat berpegangan pada kusen, sehingga tubuhku tidak langsung tertelan dalam ruang pekat seperti malam. Tiba-tiba daya hisap ruangan itu lenyap, hingga membuat separuh tubuhku menghantam lantai. Sementara separuhnya lagi, dari pinggang hingga ujung kaki, menggantung persis di bibir jurang.
Ayah masih menatapku dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Matanya berkilat, mukanya memerah pertanda ia sedang marah. Sebelumnya aku tak pernah melihat ayah seperti ini. Bahkan tak pernah terlintas di benakku, bahwa ayah yang selama ini selalu lembut bisa jadi seberingas ini.
Sekian detik kemudian muncul dua tulang rangka, satu mayat perempuan, dan satu lagi mayat kakek tua yang sekujur tubuhnya terbakar. Mereka semua hidup, dan berusaha menarikku masuk ke dalam ruang pekat. Aku meronta seraya menatap iba pada ayah. Namun ia masih saja membatu.
Mataku pun mulai perih karena tak berkedip. Saat aku membuka mata sekian detik kemudian. Tiba-tiba saja muncul sosok perempuan dewasa di sebelah perempuan tadi. Keduanya saling tersenyum, lalu menatapku ramah.
“Alynna Sukmo Atmaja” sapa perempuan bersanggul itu ramah. Aku tersentak, seluruh sendiku lemas hingga tubuhku pun merosot ke lantai. Kedua perempuan itu tidak menakutkan, tapi lukisan dalam buku yang bisa bicara benar-benar membuatku ketakutan.
“Kami -”Belum sempat perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ayah datang dan merebut buku ajaib dari tanganku dengan sekali sentakan. Matanya berkilat, mukanya memerah pertanda ia sedang marah.
“Jembatan masa pintu neraka dunia ”ucap ayah sekali napas di tengah hembusan napasnya yang memburu. Lalu terdengar suara berdebam, yang ternyata berasal dari pintu kayu di sisi kiri ruang tamu. Aku melihat pintu itu terbuka, lalu merasakan tubuhku terhisap kedalamnya. Beruntung aku sempat berpegangan pada kusen, sehingga tubuhku tidak langsung tertelan dalam ruang pekat seperti malam. Tiba-tiba daya hisap ruangan itu lenyap, hingga membuat separuh tubuhku menghantam lantai. Sementara separuhnya lagi, dari pinggang hingga ujung kaki, menggantung persis di bibir jurang.
Ayah masih menatapku dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Matanya berkilat, mukanya memerah pertanda ia sedang marah. Sebelumnya aku tak pernah melihat ayah seperti ini. Bahkan tak pernah terlintas di benakku, bahwa ayah yang selama ini selalu lembut bisa jadi seberingas ini.
Sekian detik kemudian muncul dua tulang rangka, satu mayat perempuan, dan satu lagi mayat kakek tua yang sekujur tubuhnya terbakar. Mereka semua hidup, dan berusaha menarikku masuk ke dalam ruang pekat. Aku meronta seraya menatap iba pada ayah. Namun ia masih saja membatu.
Sekuat tenaga aku mencoba bangkit, kemudian beringsut menjauh sambil memeluk lutut ketika ayah berusaha mendekat. Hanya tinggal sejengkal lagi aku akan terjengkang ke lantai, namun kulihat ayah kembali membatu. Ia lalu mengarahkan telapak tangan kanannya ke arahku, mematungkan tubuhku hingga aku tak dapat menggerakkan apapun kecuali bola mataku. Kulihat mulut ayah berkomat-kamit, lalu pintu kayu di hadapanku tertutup dengan sendirinya.
Ayah kembali mendekat, tatapan matanya tak lagi seperti tadi. Tak ada lagi kilat kemarahan namun lebih menyiratkan kekhawatiran.
“Alin istirahat dulu ya dek.”ujarnya lembut sembari meluruskan tubuhku.
“Nggak boleh banyak gerak biar cepat sembuh.”sambungnya lagi. Kemudian membopong tubuhku ke sebuah ruangan bercat ungu yang tak lain merupakan kamarku.
§§§
0 komentar:
Posting Komentar